Recent Post

Jumat, 13 Mei 2016

Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahullah: "Barangsiapa yang malu kepada Allah ketika hendak berma'siat, maka Allah juga malu untuk mengadzabnya nanti pada hari dia bertemu dengan Allah"



Salah satu akhlak yang mulia yang merupakan bentuk ketaatan seorang muslim dan sebagai salah satu wujud rasa syukur kepada Allah Ta’ala adalah rasa malu kepada Allah. Allah Ta’alatelah memberikan segala nikmat yang pasti tak dapat terhitung dan Allah Ta’ala yang menghilangkan segala hal yang menyulitkan dirinya. Hendaknya seorang muslim memiliki rasa malu kepada Allah, karena ibadah yang dia lakukan sangat tak sebanding dengan nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya.
Sifat malu sangat penting karena malu merupakan bagian dari iman. Dari Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
اْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ
“Iman itu bercabang tujuh puluh lebih atau enam puluh lebih, yang paling utama adalah kalimat la illaha illallah dan yang paling rendah adalah menyingkirkan rintangan dari jalan, dan malu termasuk cabang dari iman.” (HR. Bukhari & Muslim)
Rasa malu disebut bagian dari iman karena malu menjadi pengendali bagi seorang muslim untuk senantiasa berada dalam kebaikan dan berpaling dari segala keburukan atau maksiat. Sebagaimana halnya dengan iman yang senantiasa mendorong seorang mukmin untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan kemaksiatan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ
“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” (HR. Bukhari & Muslim)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ
“Malu itu seluruhnya kebaikan.” (HR. Bukhari & Muslim dari Sahabat ‘Imran bin Husain)
Betapa malu adalah akhlak yang mulia. Karena itu, ketika ada salah seorang sahabatradhiyallahu ‘anhu yang menasehati saudaranya ketika merasa malu dan ia berkata kepadanya, “Sungguh, malu telah merugikanmu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ
“Biarkan dia, karena malu termasuk iman.” (HR. Bukhari & Muslim)
Malu merupakan Rasulullah Muhammad sallallahu’alaihi wasallam, teladan bagi setiap muslim. Beliau adalah sosok pribadi yang sangat pemalu.
وعَن أَبِي سعيدٍ الخدريّ رضى الله عنهُ قال: كان رسول الله صلّى الله ليه وسلّم أشدّ حياءٍ من العذراء في خدرها، فاِذ راءى شيئاً يكلرهه عرفناه في وجهه. متفقٌ عليه.
Dari Abu Said al-Khudri –radhiyallahuánhu-, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu álaihi wasallam itu lebih merasa malu daripada seorang gadis yang ada dalam ruang pingitannya. Maka apabila beliau melihat sesuatu yang tidak beliau sukai kami mengetahuinya pada wajahnya. (HR. Bukhari-Muslim)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), karena hujan merupakan sumber kehidupan bagi bumi, tanaman-tanaman, dan hewan-hewan ternak. Maka dengan begitu dapat disebutkan bahwa kehidupan dunia dan kehidupan akhirat dinamai dengan al-hayaa’. Barang siapa yang tidak memiliki malu dalam dirinya maka dia adalah mayat di dunia dan kesengsaraan di akhirat.
Al-Junaid rahimahullah berkata, “Rasa malu yaitu memperhatikan kenikmatan dan pelanggaran, sehingga menimbulkan suatu kondisi yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.’”[Madarijus Salikin (II/270). Lihat juga Fathul Bari (X/522) tentang definisi malu.]
Malu Baik dan Malu Buruk
Malu terbagi menjadi dua, yakni malu yang terpuji dan malu yang tercela. Malu yang terpuji adalah malu untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Malu ini bisa digolongkan malu kepada Allah Ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam sabdanya, “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya”. “Kami sudah malu wahai Rasulullah”, jawab para sahabat. Nabi bersabda,
لَيْسَ ذَاكَ وَلَكِنَّ الِاسْتِحْيَاءَ مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْتَذْكُرْ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
“Bukan demikian namun yang dimaksud malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah menjaga kepala dan anggota badan yang terletak di kepala, menjaga perut dan anggota badan yang berhubungan dengan perut, mengingat kematian dan saat badan hancur dalam kubur. Siapa yang menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang melakukan hal-hal tersebut maka dia telah merasa malu dengan Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR. Tirmidzi dll, dinilai hasan karena adanya riwayat-riwayat lain yang menguatkannya oleh Al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir no. 935)
Dalam hadits ini, Nabi menjelaskan bahwa tanda memiliki rasa malu kepada Allah adalah menjaga anggota badan agar tidak digunakan untuk bermaksiat kepada Allah, mengingat kematian, tidak panjang angan-angan di dunia ini dan tidak sibuk dengan kesenangan syahwat, serta larut dalam gemerlap kehidupan dunia sehingga lalai dari akhirat.
Rasa malu terpuji selanjutnya adalah malu dengan sesama manusia. Malu inilah yang mengekang seorang hamba untuk melakukan perbuatan yang tidak pantas. Dia merasa risih jika ada orang lain yang mengetahui kekurangan yang dia miliki.
Rasa malu dengan sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina. Sedangkan rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang atau pun saat sendiri tanpa siapa pun yang menyertai.
Rasa malu kepada Allah adalah di antara bentuk penghambaan dan rasa takut kepada Allah. Rasa malu ini merupakan buah dari pengenalan terhadap Allah dan keagunganNya. Serta menyadari bahwa Allah itu dekat dengan hamba-hambaNya, mengawasi perilaku mereka dan sangat paham dengan adanya mata-mata yang khianat serta isi hati nurani.
Adapun malu yang tercela adalah malu di hadapan manusia ketika menjalankan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Misalnya, malu untuk menyampaikan kebenaran dan menuntut ilmu, atau pun dalam menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran, malu memakai jilbab yang syar’i, dan malu mencari nafkah untuk keluarga karena dirinya bukan seorang bos.
Qadhi ‘Iyadh rahimahullah dan yang lainnya mengatakan, “Malu yang menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang disyari’atkan, bahkan itu ketidakmampuan dan kelemahan. Sementara perbuatan ini masih disebut malu, karena menyerupai malu yang disyari’atkan.” Dengan demikian, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa Jalla sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah tercela karena pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidak-berdayaan. [Lihat Qawa’id wa Fawaid (hal. 182)]
Suatu kali ketika Umar radhiyallahu ‘anhu berkutbah lalu membatasi mahalnya mas kawin, maka seorang perempuan menyampaikan kepadanya, ”Apakah ketika Allah memberikan kepada kami, kemudian Anda akan menghalangi hak bagi kami, hai Umar! Bukankah AllahTa’ala telah berfirman, ”Dan kamu berikan kepada salah seorang perempuan itu harta yang banyak, maka janganlah kamu mengmbilnya sedikitpun.” Rasa malu tidak menghalangi ibu itu untuk membela hak kaumnya. Begitu pula Umar radhiyallahu ‘anhu tidak terhalangi juga untuk menyampaikan mohon maaf atas kekeliruannya. “Setiap manusia adalah lebih pandai dari Umar.” [Atsar ini diriwayatkan Al-Baihaqi dalam Al-Kubro (7/233), At-Thahawi dalam Musykilul Atsar (4427), sanadnya dinilai kuat oleh As-Sakhawi dalam Maqasid Hasanah (1/171), akan tetapi hadis ini dinilai dhaif oleh Imam Al-Albani, karena sanad hadis ini berkutat pada perawi yang majhul atau matruk (Al-Irwa’, 6/349)]
Bisa dibayangkan bagaimana jika seseorang itu tidak memiliki malu, dan malu itu dicabut dari dalam dirinya. Dia pun akan bertingkah seenaknya sendiri, tak peduli bahwa tindakan itu adalah pelanggaran atas hak-hak kepada Allah dan hak orang lain yang menjadi kewajibannya.
Benarlah bahwa malu itu berbanding lurus dengan iman. Hal ini terbukti yakni apabila ada seorang hamba yang dia tidak merasa malu ketika berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala maka bisa dipastikan saat itu kadar imannya sedang berkurang. Karena iman itu akan bertambah dengan ketaatan dan akan berkurang dengan kemaksiatan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُوَاْلإِيْمَانُقُرِنَاجَمِـيْعًا ،فَإِذَارُفِعَأَحَدُهُمَارُفِعَاْلاَخَرُ
“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.” [HR. Hakim (I/22), Ath Thabrani dalam Al-Mu’jamush Shaghir (I/223), Al-Mundziri dalam At-Targhib wat Tarhib (no. 3827), Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya’ (IV/328, no. 5741), dan selainnya. Lihat Shahih al-Jami’ish Shaghir (no. 3200).]
0

Senin, 21 Maret 2016

Pengajian Bulanan Azfa Collection

Kutipan - Kutipan bahasan

“Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal” (Luqman: 34)

Dari Abu ‘Abdir-Rahman ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menuturkan kepada kami, dan beliau adalah ash-Shadiqul Mashduq (orang yang benar lagi dibenarkan perkataannya), beliau bersabda,”Sesungguhnya seorang dari kalian dikumpulkan penciptaannya dalam perut ibunya selama 40 hari dalam bentuk nuthfah (bersatunya sperma dengan ovum), kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) seperti itu pula. Kemudian menjadi mudhghah (segumpal daging) seperti itu pula. Kemudian seorang Malaikat diutus kepadanya untuk meniupkan ruh di dalamnya, dan diperintahkan untuk menulis empat hal, yaitu menuliskan rizkinya, ajalnya, amalnya, dan celaka atau bahagianya. Maka demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar melainkan Dia, sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli surga, sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka dengan itu ia memasukinya. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli neraka, sehingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya tinggal sehasta, tetapi catatan (takdir) mendahuluinya lalu ia beramal dengan amalan ahli surga, maka dengan itu ia memasukinya”. [Diriwayatkan oleh al Bukhari dan Muslim]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوْتَ حَتَّى تَسْتَوْفِي رِزْقَهَا وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا فَاتَّقُوا اللهَ وَأَجْمِلُوْا فِي الطَّلَبِ خُذُوْا مَا حَلَّ وَدَعُوْا مَا حَرُمَ.
“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dan sederhanalah dalam mencari nafkah. Karena sesungguhnya seseorang tidak akan mati hingga sempurna rizkinya. Meskipun (rizki itu) bergerak lamban. Maka, bertakwalah kepada Allah dan sederhanalah dalam mencari nafkah, ambillah yang halal dan tinggalkan yang haram” HR Ibnu Majah no. 2144, Ibnu Hibban no. 1084, 1085-Mawarid, al Hakim (II/4), dan Baihaqi (V/264)



0

Minggu, 28 Februari 2016

Pengajian Bulanan Karyawan Azfa Collection

Kewajiban Bekerja dalam Islam

Kutipan Dalil Dalil Perintah Kewajiban Bekerja

Perintah bekerja telah Allah wajibkan semenjak nabi yang pertama, Adam Alaihi Salam sampai nabi yang terakhir, Muhammmad SAW . Perintah ini tetap berlaku kepada semua orang tanpa membeda-bedakan pangkat, status dan jabatan seseorang. Berikut ini akan di nukilkan beberapa dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah tentang kewajiban bekerja.
Dalil dari Al-Qur’an
Kami telah membuat waktu siang untuk mengusahakan kehidupan (bekerja).” (QS. Naba’ : 11)
Kami telah menjadikan untukmu semua didalam bumi itu sebagai lapangan mengusahakan kehidupan (bekerja) ; Tetapi sedikit sekali diantaramu yang bersyukur.”(QS. A’raf : 10)
“ Apabila telah ditunaikan sholat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jum’ah : 10)
“ Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagimu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (QS. Al-Mulk : 15)
“ … dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah (bekerja); dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan Allah….” (QS. Al-Muzzammil : 20)
Islam akan membukakan pintu kerja bagi setiap muslim agar ia dapat memilih pekerjaan yang sesuai dengan minatnya dan kemampuannnya. Namun demikian masih banyak orang yang ennggan untuk bekerja dan berusaha dengan alasan bertawakal kepada Allah SWT serta menunggu-nunggu rizki dari langit. Mereka telah salah memahami ajaran Islam. Pasrah pada Allah tidak berarti meninggalkan amal berupa bekerja. Seperti yang pernah rasul katakan : Semaikanlah benih, kemudian mohonkanlah buah dari Rabbmu.”
Allah memang telah berjanji akan memberikan rizki kepada semua makhluq-Nya. Akan tetapi janji ini tidak dengan “cek kosong”, seseorang akan mendapatkan rizki kalau ia mau berusaha, berjalan dan bertebaran di penjuru-penjuru bumi. Karena Allah menciptakan bumi dan seisinya untuk kemakmuran manusia. Siapa yang mau berusaha dan bekerja ialah yang akan mendapat rizki dan rahmat dari Allah.
Dalil dari Al-Hadits
Rasulullah bersabda, :
"Pekerjaan terbaik adalah usahanya seseorang dengan tangannya sendiri dan semua jual-beli itu baik.” (HR. Ahmad, Baihaqi dll)
“ sebaik-baik pekerjaan ialah usahanya seseorang pekerja apabila ia berbuat sebaik-baiknya (propesional).” (HR. Ahmad)
“ Sesungguhnya apabila seseorang diantara kamu semua itu mengambil tambangnya kemudian mencari kayu bakar dan diletakkan diatas punggungnya, hal itu adalah lebih baik dari pada ia mendatangi seseorang yang telah dikarunai oleh Allah dari keutamaan-Nya, kemudian meminta-minta dari kawannya, adakalanya diberi dan ada kalanya ditolak.” (HR. Bukhari dan Muslim).
“…kalau ada seeorang keluar dari rumahnya untuk bekerja guna membiaya anaknya yang masih kecil, maka ia telah berusaha Fisabilillah. Jikalau ia bekerja untuk dirirnya sendiri agar tidak sampai meminta-minta pada orang lain, itupun Fisabilillah. Tetapi apabila ia bekerja untuk pamer atau untuk bermegah-megahan, maka itulah Fisabili Syaithan atau karena mengikutu jalan Syaithan.” (HR. Thabrani)
“ sesungguhnya Allah itu telah menjadikan rizkiku terletak dibawah tombakku.” (HR. Ahmad)
“ Burung berangkat pagi hari dengan perut kosong dan kembali sore hari dengan perut penuh makanan.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
“Keadaan yang paling aku senangi setelah berjihad di jalan Allah adalah maut datang menjemputku ketika aku sedang mencari karunia Allah (bekerja).” (HR. Sa’id bin Manshur dalam sunannya)
“Tidak seorang Rasul pun diutus Allah kecuali ia bekerja sebagai penggembala domba. Para sahabat bertanya, “bagaimana dengan dirimu, wahai Rasulullah ? Beliau menjawab, “ Ya, saya dulu menggembala domba di lapangan untuk penduduk Makkah.”(HR. Bukhari).
Dengan teramat jelas dan gamblang betapa Allah dan Rasul-Nya memerintahkan seseorang untuk bekerja. Bekerja adalah sebuah ibadah yang disejajarkan dengan amalan fisabilillah, bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarga tapi ia sebagai manesfesto penghambaan dan ketaatan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya.
Rasulillah sebagai seorang tauladan selalau memberikan motivasi kepada semua sahabatnya untuk selalu giat dan tekun dalam bekerja, simak saja penuturan beliau berikut ini :
“ Pedagang yang lurus dan jujur kelak akan tinggal bersama para nabi, siddiqin, dan syuhada’,” (HR. Tirmidzi dan Al Hakim). Nasihat ini beliau peruntukkan untuk sahabatnya yang mempunyai pekerjaan sebgai pedagang (wirausahawan). Sedangkan untuk mereka yang bekerja sebagai petani dan tukang kebun, beliau bersabda :
“ Setiap muslim yang menanam satu tanaman atau menyemai satu semaian lalu (buahnya) dimakan oleh manusia atau binatang, maka ia itu dianggap telah bersedekah.” (HR. Bukhari)
Semoga bermanfaat
0

Sebagai salah satu distrubutor besar produk sari, khususnya creamsari, team manajemen Azfa collection melakukan kunjungan bisnis kedepan yang lebih baik.




1

Author

authorAssalamu'alaikum, Azfa collection berkomitmen memberikan produk dan pelayanan terbaik.
Learn More ?








Recent

Family